Sambil memunguti gelas-gelas plastik, sesekali peluh yang memenuhi mukanya diseka dengan kain lengan bajunya yang pink lusuh, entah, atau mungkin warna merah tua yang sudah luntur, bisa jadi.
Hampir setiap saat kutemui orang-orang seperti mereka, dan yang kutahu dari TV, plastik-plastik itu akan ditimbang lalu dijual. Terus didaur ulang untuk dijadikan plastik tapi dalam bentuk yang lain. Akhirnya jadi sampah lagi, terus dipungut kembali oleh mereka. lalu ditimbang, dibeli lalu didaur ulang, begitulah pertama kali saya memahami reinkarnasi, maap. Begitulah pelajaran menurutku, tidak hanya didapat dari sebuah Guru, Bisa jadi dari seorang Sampah, atau dari seekor beringin, atau setangkai cecak atau dari tempat ngawur lainnya.
Yang awalnya berbentuk gelas, setelah melalui proses berliku, lalu jadi piring, ada yang jadi pulpen. Tergantung karmanya, akan mempengaruhi kelahirannya kembali.
Hari yang membosankan, Panas matahari, dehidrasi, apalagi waktu buka yang masih lima jam lebih, kombinasi suasana yang kupikir tidak saling berhubungan sehingga memunculkan ide seperti "Interview with Pemulung".
Telah diniatkan sebelumnya, karena telah mengganggu waktu mencari nafkahnya, setelah Interview, yah..sekedarnya lah.
Singkat cerita, detail Interview tidak dituliskan di sini, demi kepentingan komersil katanya. Agar pemulung yang lain tidak mencontek tips dan triknya dalam mengais plastik yang efisien dan berpenghasilan banyak, termasuk menjualnya di mana, karena menurutnya tempat menjualnya paling banyak memberinya keuntungan perkilo pelastik dibanding tempat-tempat sebelumnya. Hmm..Pemulung aja pake rahasia-rahasiaan dengan saingan bisnisnya. Padahal sudah pake alasan, kalau interview ini bukan dari infotainment.
Masih berumur 37an tahun, Telah memiliki anak tiga, hubungan sama istrinya terbilang complicated. Istrinya menjadi pembantu umum panggilan di sebuah kompleks ternama di makassar. Hampir segala jenis pekerjaan rumah yang malas untuk dilakukan oleh Ibu rumah tangga di kompleks itu dilakukannya. Cuci piring, menyiram tanaman, mencuci baju, baby sister, menyapu halaman. Namun pendapatan istrinya, oleh Erwin, nama pemulung itu, dahulu kala, dihabiskannya untuk mabuk-mabukan dan berjudi.
Oh Erwin, kau membuatku jadi geram, emosi tertahan tak karuan mendengar kisah terkutukmu. "Trus, masih seperti ituki' kah?", lanjutku bertanya penasaran. "Tidakmi, sudah tiga tahunma' tidak seperti itu lagi, anu..sabar sekaliki sebenarnya istriku, mungkin karena rajin sekaliki kuliat solat, padahal satu kalija nategur yang buatka sadar sendiri."
Puluhan umpatan yang siap melonacat keluar dari pintu mulutku, hanya tertelan kembali, karena penasaran dengan proses sadarnya."Nategur bagemanaki?"
Nabilang istriku kira-kira begini,"Pak, tigami anakta, masih kecil-kecil memang, tapi nda menangiski liatki itu anakta setiap hari cuma makan satu kaliji pak, kutauji juga memang nda tauki mau kerja apa, berubahki sedikitmo, tahun depan, Andi (yang paling besar), maumi sekolah pak, tidak berubahki nasibta, klo bukan kita sendiri yang rubahki." Begituji nabilang, sampai biarmi, pungut-pungut pelastikmo, iniji saya bisa.
"Sudahmi pale pak, ini hadiah sekedarnya dari saya, lanjutkanmeki pekerjaanta...maap klo saya gangguki," kurogoh saku depan yang berisi beberapa lembar puluhan yang telah kusiapkan sebelumnya dan kuberikan padanya yang awalnya menolak.
Beberapa hari Ramadahan telah berlalu dan dari sekian banyak ceramah yang tak satu pun isinya nyangkut di otak dan hati ini. Mungkin kepada pemulung hari ini, dari semangat prubahannya dan istrinya yang solehah, saya diperdengarkan Ayat-Nya.
Andai pemulung itu punya Facebook, mungkin di update statusnya akan tertulis "Tidak akan dirubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang merubahnya sendiri."
Baca Selengkapnya..